PP tentang THR Menyisahkan Masalah Bagi Pemda, Ini Solusi Hukumnya
PP tentang THR Menyisahkan Masalah Bagi Pemda, Ini Solusi Hukumnya
Oleh : Dr. Rusdianto Sesung
(Staf Ahli DPRD Provinsi Jatim)
Masalah Hukum vs Masalah Perundangan
Dalam konsep dasar Ilmu Hukum, hukum diartikan sebagai standar, patokan, atau pedoman bertindak guna mendatangkan keadilan (_ius/jurisprudence/droit/recht_). Namun, pengertian hukum sering dibatasi dan disempitkan maknanya hanya terbatas sebagai peraturan tertulis guna mengatur tertib sosial ( _lex/legal/loi/wet_).
Peraturan tertulis atau yang dikenal dengan istilah peraturan perundang-undangan hanyalah salah satu bentuk wujud hukum yang menampakkan dirinya keluar sehingga dapat dan mudah dilihat/dikenali oleh masyarakat. Padahal, masih ada beberapa wujud hukum lainnya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan permasalahan hukum seperti nilai, asas hukum, norma hukum, doktrin hukum, maupun putusan pengadilan.
Karena adanya pembatasan makna hukum hanya sebagai peraturan tertulis atau peraturan perundang-undangan ini, maka banyak pengemban profesi hukum (hakim, jaksa, penyidik, pengacara, maupun pemerintah) yang kaku dalam menghadapi permasalahan hukum, termasuk kaku pula dalam menyelesaikan masalah hukum tersebut.
Para pengemban profesi hukum seolah terjebak dengan satu bentuk wujud hukum saja dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Padahal, sesuai dengan konsepnya bahwa permasalahan itu ialah permasalahan hukum, bukan permasalahan peraturan perundang-undangan, sehingga penyelesaiannya pun juga harus berdasarkan hukum, bukan hanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan semata.
Inti Masalah
Baiklah, mari kita kembali dulu pada inti permasalahan yang sedang kita hadapi, yakni kaitannya dengan ketentuan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 dan Nomor 36 Tahun 2019 yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan teknis tentang tata cara pemberian THR dan gaji ketiga belas yang bersumber dari APBD dengan Perda.
Ketentuan Pasal 10 ayat (2) ini merupakan ketentuan baru yang pada tahun sebelumnya tidak demikian adanya. Permasalahannya bukan semata hanya karena adanya pendelegasian atau perintah pembentukan Perda, namun lebih pada mepetnya waktu yang tersedia untuk menetapkan sebuah Perda yang notabene membutuhkan waktu dan prosedur yang tidak sedikit.
Membentuk Perda bukanlah Solusi Terbaik
Berdasarkan pengalaman saya, pembentukan Perda tercepat pun setidaknya membutuhkan waktu 1 bulan atau sekurangnya 20-25 hari. Pada tahun 2017 silam, pernah ada satu daerah di Jawa Timur yang mempercepat proses pembentukan Perda tentang Hak Keuangan dan Administratif Anggota dan Pimpinan DPRD.
Percepatan itu tidak melanggar prosedur karena semua prosedur telah dilalui dengan lengkap. Namun bagaimanapun upaya percepatan yang telah dilakukan, tetap saja pengundangan Perda tersebut baru dapat dilakukan hampir 2 bulan setelahnya. Hal ini karena dalam pembentukan Perda, badan atau lembaga pembentuknya tidaklah berhenti pada tercapainya kesepakatan antara Kepala Daerah dan DPRD semata, namun juga harus melalui 'persetujuan' Mendagri bagi Perda Provinsi dan Gubernur bagi Perda Kabupaten/Kota dalam bentuk fasilitasi dan pemberian nomor register.
Dengan kata lain bahwa lembaga yang terlibat dalam pembentukan Perda bukan hanya Kepala Daerah dan DPRD saja, namun juga melibatkan Mendagri atau Gubernur. Inilah kenapa Perda dikualifikasikan sebagai perbuatan hukum banyak pihak ( _meerzedijge publicrecht bestuurhandeling_) karena memang lembaga pembentuknya bukan hanya 1 lembaga, namun lebih dari 1 dan bahkan 3 lembaga.
Disamping harus adanya fasilitasi dan nomor register dari Mendagri atau Gubernur, di Provinsi Jawa Timur terdapat Peraturan Gubernur yang mengharuskan suatu rancangan Perda harus termuat dalam program pembentukan Perda (propem Perda) terlebih dahulu sebelum Perda tersebut dimintakan fasilitasi ke Gubernur. Dengan demikian, Pemerintah Daerah dan DPRD harus melakukan perubahan propem Perda terlebih dahulu sebelum melakukan penyusunan Naskah Akademik dan Draft rancangan Perda tersebut.
Melihat banyaknya prosedur yang harus dilalui serta panjangnya waktu yang dibutuhkan sampai dengan ditetapkan Perda sebagaimana diuraikan di atas, maka opsi pembentukan Perda guna menindaklanjuti ketentuan Pasal 10 ayat (2) PP Nomor 35 dan Nomor 36 Tahun 2019 harus dikesampingkan terlebih dahulu. Dengan kata lain, bahwa jika Pemerintah Daerah memilih opsi untuk tetap membentuk Perda terlebih dahulu maka dapat dipastikan bahwa pemberian THR dan gaji ketiga belas baru bisa diberikan paling cepat pada pertengahan bulan Juni atau setelah Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada 5-6 Juni 2019. Oleh karena itu, saya menyarakankan agar opsi ini (membentuk Perda) dikesampingkan.
Pemberian THR setelah hari raya justru bertentangan dengan esensi atau tujuan diberikannya THR, yakni sebagai tunjangan untuk dapat digunakan pada saat berhari raya. Oleh karena itu, pemberian THR setelah hari raya dapat dikategorikan sebagai perbuatan Maladministrasi.
Perubahan PP atau Menerbitkan Surat Edaran Mendagri bisa Menjadi Solusi Alternatif
Solusi yang paling baik ialah melakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 10 ayat (2) PP Nomor 35 dan Nomor 36 Tahun 2019. Perubahan PP dipandang sebagai solusi terbaik, sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi Pemerintah Daerah. Disamping itu, perubahan PP dilakukan guna merubaha pendelegasian pembentukan Perda menjadi Peraturan Kepala Daerah. Akan tetapi, jika perubahan PP membutuhkan waktu yang lama, maka solusi kedua ialah dengan diterbitkannya kebijakan pemerintahan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, bahwa Pejabat Pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang pndangan, *kebijakan pemerintahan*, dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Berdasarkan ketentuan tersebut, pemberian THR dan gaji ketiga belas harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan, dan AUPB.
Dalam konteks pemberian THR dan gaji ketiga belas yang bersumber dari APBD, maka peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar untuk memberikan THR ialah Perda tentang APBD. Dengan kata lain bahwa dalam hal Pemerintah Daerah telah mengalokasikan anggaran untuk pemberian THR dan gaji ketiga belas dalam Perda tentang APBD Tahun 2019, maka Perda tentang APBD tersebut sudah cukup dijadikan sebagai dasar hukum dalam pemberian THR dan gaji ketiga belas.
Bagaimana halnya jika Pemerintah Daerah belum mengalokasikan anggaran pemberian THR dan gaji ketiga belas dalam Perda tentang APBD? Maka Pemerintah Daerah dapat melakukan perubahan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD mendahului penetapan Perda tentang Perubahan APBD.
Dalam konteks ini, Mendagri perlu mengeluarkan Surat Edaran yang memerintahkan Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan anggaran pemberian THR dan gaji ketiga belas melalui perubahan Perkada tentang Penjabaran APBD mendahului penetapan Perda tentang APBD.
Disamping itu, Surat Edaran Mendagri tersebut juga memperluas (ekstentifikasi) makna Perda dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) PP Nomor 35 dan Nomor 36 Tahun 2019 yang mencakupi dan/atau dimaknai juga sebagai Perda tentang APBD dan untuk mengatur teknis pemberian THR dan gaji ketiga belas tersebut, Kepala Daerah menetapkan Peraturan Kepala Daerah.
Dalam hukum administrasi, surat edaran tersebut merupakan bentuk kebijakan pemerintahan yang bersifat tertulis atau _beleids regel_. Pejabat pemerintahan diberikan ruang dalam menetapkan kebijakan pemerintahan sebagai jalan keluar darurat ( _emergency exit_) manakala menghadapi suatu kondisi mendesak seperti kondisi yang dihadapi saat ini.
Oleh karena itu, Surat Edaran memiliki dasar pijakan yang kuat secara hukum, baik dari aspek teori hukum maupun dari aspek peraturan perundang-undangan, yakni Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014. Dengan demikian Mendagri seyogiyanya segera menerbitkan Surat Edaran yang dapat dijadikan dasar oleh Pemerintah Daerah dalam memberikan THR dan gaji ketiga belas bagi PNS Daerah dan Pejabat di Daerah.
Penerbitan surat edaran ini juga didukung dengan kuat oleh AUPB. Surat edaran tersebut dapat dijadikan pijakan kepastian hukum bagi Pemerintah Daerah untuk menggunakan Perda APBD sebagai dasar pemberian THR dan gaji ketiga belas. Disamping itu, asas kemanfaatan juga menjadi alasan utama dalam mengeluarkan surat edaran tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b UU Nomor 30 Tahun 2014.
Asas kemanfaatan dalam konteks pemberian THR dan gaji ketiga belas ialah berkaitan dengan esensi THR yang ditujukan sebagai tunjangan yang akan digunakan oleh PNS dan pejabat dalam merayakan hari raya. Sehingg apabila THR tersebut diberikan setelah hari raya, maka akan melanggar asas kemanfaatan ( _doelmatigdheid_) dan asas tujuan ( _specialiteit beginselen_).
Di mana letak keadilan yang hendak dicapai jika THR diberikan setelah hari raya? Bukankah hukum itu adalah patokan, standar atau pedoman dalam bertindak guna mendatangkan keadilan? Jika peraturan tertulis justru menjauhkan masyarakat dalam mendapatkan keadilan, maka hakikatnya peraturan itu bukanlah aturan hukum ( _rule of law_) melainkan aturan penguasa belaka ( _rule of power_).
Demikianlah solusi hukum yang dapat dijadikan jalan keluar bagi permasalahan hukum yang tersisa akibat adanya ketentuan Pasal 10 ayat (2) PP Nomor 35 dan Nomor 36 Tahun 2019. Permasalahan hukum harus diselesaikan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan peraturan perundang-undangan semata. Sehingga esensi hukum sebagai sarana untuk mendatangkan keadilan benar-benar ditegakkan.
Baca : ( https://infonews.id/baca-133-jutaan-pns-daerah-pejabat-di-daerah-terancam-tak-terima-thr-lebaran )
Penulis merupakan Doktor Ilmu Hukum Tata Negara lulusan terbaik FH Unair Surabaya sekaligus Dekan FH Universitas Narotama Surabaya
Editor : Redaksi