Mahar Politik, Involusi Kebudayaan
INFOnews.id | Surabaya - Berbincang dengan Profesor Soetanto Soepiadhy banyak hal menarik yang patut disimak. Misalnya, saat dia membeber calon walikota atau bupati, juga calon gubernur disebut rata-rata mengeluarkan uang puluhan miliar.
“Benar lho itu, miliaran, dan ongkos politik yang dikeluarkan untuk calon gubernur lebih besar, ratusan miliar. Itulah "mahar politik", kata pemilik sapaan -Prof Tanto- saat berbincang dengan media ini, Kamis (25/1/2024).
Disebut, mahar politik ini bak lingkaran setan. Biaya politik begitu mahal, maka ketika terpilih kepala daerah, tak lagi mementingkan rakyat, tetapi memikirkan bagaimana caranya modal politik bisa kembali, salah satunya melakukan korupsi. Ini yang menyebabkan korupsi tak kunjung tuntas.
“Karena korupsi otomatis korbannya adalah rakyat. Itulah lingkaran setan. Intinya, praktik mahar politik menyuburkan korupsi, bahkan menghambat calon pemimpin yang baik untuk lahir dan tumbuh. Itulah involusi kebudayaan,” terangnya.
Involusi kebudayaan pada dasarnya adalah kemandegan kebudayaan atau pembusukan budaya. Analog dengan involusi kebudayaan adalah involusi hukum. Mahar politik adalah involusi hukum. Mahar politik memiliki makna "ambiguity" (multitafsir).
Bagi politisi, mahar politik dipahami "political cost" (biaya politik); sebaliknya bagi awam, dipahami sebagai politik transaksional atau "money politics" alias politik uang.
Election atau Selection?
Profesor Tanto kemudian juga menyebut istilah Kader Parpol dan Praktik Politik, terdapat istilah "mahar politik", yang dipahami oleh publik sebagai transaksi di bawah tangan atau "deal" yang dilarang, melibatkan pemberian dana dalam jumlah besar dari calon untuk jabatan yang diperebutkan dalam pemilu atau pilkada dengan parpol yang menjadi kendaraan politiknya.
“Hal inilah yang menyebabkan "election" menutupi "selection", tegasnya. "Election" berorientasi pada "suara", sedang "selection" lebih pada "kualitas". Suara itu rentan dengan godaan uang, suara bisa dibeli dan dijual. Sebaliknya, kualitas kebal terhadap godaan uang, kualitas tidak bisa dibeli atau dibayar dengan uang, menjadi taruhannya," ucap dia.
Kualitas harus dihasilkan ("earned, learned, worked on") dengan keringat, otak, dan hati. Kualitas akan menjadi rusak kalau dirupiahkan. Sejalan dengan itu, "popularitas" menjadi lebih penting daripada "kualitas".
“Dan sekali lagi, uang sangat berafinitas (mempunyai daya tarik menarik) dengan popularitas, karena mudah dibeli, antara lain melalui iklan,” lanjutnya.
Apabila orang lebih mengandalkan popularitas (pokoknya populer), kualitas bisa menjadi korban. Popularitas sangat bisa meninabobokkan upaya untuk pengembangan kualitas, dan kualitas yang tidak dikembangkan pasti merosot.
“Sekali Lagi, Election atau Selection?,” ucapnya.
Jika "election" lebih diutamakan daripada "selection", maka formalitas, prosedur, peraturan perundang-undangan menjadi lebih utama daripada substansi dan realitas yang diaturnya. Dan kompetisi kualitas menjadi tidak mendapat tempat.
Kualitas para kandidat calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota tidak mendapat kesempatan untuk diperlihatkan betapa cemerlangnya, dan yang lebih penting lagi, tidak mendapat kesempatan untuk diasah, diuji, dan dikembangkan dalam interaksi yang diatur.
“Akibatnya fatal, menang lebih karena suara daripada karena menang kualitas. Semua pihak (yang kontestan, yang menang dan yang kalah, ya parpol, ya penyelenggara, ya para pemilih). Tidak bertambah cerdas sehabis pemilu,” kata Prof Tanto.
Jika sudah begitu tenaga untuk menjaga stabilitas koalisi dalam kabinet mengurangi tenaga untuk menjalankan tugas, proses menjadi negarawan tidak terjadi. Usai pemilu maupun pilkada, seluruh bangsa tidak menjadi lebih cerdas.
Suara, popularitas, dan uang tidak mencerdaskan. Cuma menambah otot politik, dan bila prinsip integritas dilanggar, yang terjadi adalah pembusukan. Sebaliknya, kompetisi kualitas memaksa semua peserta pemilu berpikir dan berpikir, semakin tajam. Menghasilkan solusi yang semakin diasah dan dirinci sampai nampak perbedaannya di antara para peserta itu.
Dapat dilihat bedanya dan memberi kesempatan kepada para pemilih untuk memilih dengan kejernihan dan dukungan pelaksanaannya. Sehingga uang benar-benar menjadi nomor dua, dan popularitas menjadi sehat karena berisi. Dengan demikian, "selection" akan seiring sejalan dengan "election". Semoga! (inf/tji/red)
Editor : Tudji Martudji