Budaya Eskapis
SURABAYA, Infonews.id - Kerajaan Mataram dengan raja Sultan Agung sampai kepada seluruh keturunannya, berkuasa secara mutlak dan mempertahankan sentralisasi kekuasaan.
Pengganti Sultan Agung adalah Amangkurat I (anaknya). Saat terjadi pemberontakan Trunojoyo, ia lari terbirit-birit. Lalu ke Tegal untuk mengemis perlindungan kepada VOC ("Verenigde Oost-indische Company"), semacam PT (Perseroan Terbatas). Belum sampai ke Tegal, ia sudah sekarat. Dalam keadaan sekarat, ia diracun oleh anaknya yang punya sifat menjijikkan dipandang dari segi kemanusiaan. Kemudian menggantikannya, dan bergelar Amangkurat II.
Sebagai "anak emas Kompeni", Amangkurat II suka berdandan seperti Belanda. Raja yang tambun ini, menyebut Gubernur VOC "eyang", dan menyebut Komandan Militer lokal Belanda "romo".
Salah satu keturunannya, yang bernama Pakubuwono II, ternyata telah melecehkan harga dirinya sendiri. Ia tidak segan-segan menulis "perjanjian melepaskan dan menyerahkan Keraton Mataram" kepada Kompeni Belanda, pada tahun 1749.
Pada saat inilah, (orang Jawa) kalah secara politik, moral, ekonomi, budaya, dan kalah secara militer melawan penjajah Belanda. Maka ada kecenderungan dari mereka untuk mengembangkan "budaya eskapis" (budaya pelarian). Hal ini dilakukan dengan menggeser ruang kalah itu. Ketika mereka kalah di ruang publik, maka mereka mencoba untuk bisa menang di ruang domestik dan ruang privat. "Yo ben kalah karo Londo, nanging sing penting iso ngalahake wanita". (*)
Editor : Tudji Martudji