Ketua YLPK Jatim, Muhammad Said Sutomo (Foto:IN/anton)

INFONews.id | Surabaya - Kontraproduktif pengesahkan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law terus menuai polemik. Kali ini, Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jatim, Muhammad Said Sutomo angkat bicara terkait UU yang banyak mendapat penolakan dari para buruh saat ini.

Bahkan, YLPK telah melakukan kajian kelembagaan, khususnya terkait pelaku usaha dalam UU Cipta Tenaga Kerja bagi Perlindungan Konsumen. Hasilnya tumpang tindih. Menurut Said, banyak pasal yang justru melemahkan posisi hak wong cilik, terkait konsumen. Bahkan terkesan menguntungkan pengusaha.

Ditanya posisi yang memperlemah, Said menjelaskan,  ada resistensi asas pemerataan hak. Dimana Pasal 2 ayat 1)  menegaskan Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas: a. pemerataan hak; b. kepastian hukum; c. kemudahan berusaha; d. kebersamaan; dan, e. kemandirian. 

Menurut Said, bahwa yang dimaksud pemerataan hak adalah  penciptaan kerja untuk memenuhi hak warga Negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi rakyat Indonesia dilakukan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Dari pasal itu, apakah ini bisa diterapkan di negara kita yang telah menerapkan asas Pancasila dengan pendekatan perpaduan antara penghargaan terhadap tenaga kerja dengan pendekatan fungsional profesionalitas dan kapabilitas berdasarkan pendekatan struktural seseorang?,” beber Said yang juga anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) tersebut.

Said menyebut bahwa penerapan asas pemerataan hak ini, hanya bagus dalam cita-cita, namun euforianya dalam pelaksanaan amburadul dan tumpng tindih

“Asas ini sebetulnya hanya bisa diterapkan dinegara yang menganut ideologi sosialis atau komunis, sama rata, sama rasa, atau senasib sepenanggungan,” katanya.

Disinggung urgensinya dari UU tersebut, Said meyakini asas-asas yang terkandung dalam UU Cipta Kerja ini justru menimbulkan resistensi di kalangan tenaga struktural maupun fungsional yang ada selama ini.

“Ini justru berpotensi terhadap penurunan kualitas ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional dalam memberikan standar pelayanan yang prima kepada konsumennya,” jelasnya.

Apalagi menyoal terkait standar izin usaha berbasis risiko dan dimensi perlindungan konsumen. Semua ini dirasa Said penuh tumpang tindih. Sehingga ia pun menyindir keberadaan buzzer yang banyak mengemukakan pendapatnya tanpa didasari memiliki latar belakangan hukum atau regulasi.

"Makanya kami prihatin atas buzzer-buzzer itu, menanggapi dengan enteng bahkan memandang yang tidak cocok dengan pemerintah dibilang hoax,” pungkas Said. 

Sebelumnya, pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR bisa dibilang cepat bahkan terus dikebut. Proses pembahasannya relatif berjalan mulus. Untuk meloloskan RUU Cipta Kerja menjadi UU, anggota dewan sampai rela melakukan rapat maraton. Selama sekitar tujuh bulan pembahasan, rapat dilakukan sebanyak 64 kali, hingga dini hari, akhir pekan sampai saat reses.

Pembahasan selesai dan akhirnya RUU ini dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan sebagai UU, pada Senin (5/10/2020). Para buruh pun melakukan aksi untuk menolak pengesahan tersebut. (ton)

Editor : Redaksi

Berita Terbaru