Kepala Sekolah SMK Swasta Dilaporkan ke Polrestabes Surabaya


Dugaan pelecehan dan pencabulan dilaporkan ke Polrestabes Surabaya (Foto: IN/tudji)

INFOnews.id | Surabaya - Oknum Kepala Sekolah SMK Swasta di Surabaya (AF) dilaporkan ke Polrestabes Surabaya terkait dugaan pelecehan dan pencabulan terhadap anak didiknya (AR), di ruang kepala sekolah, di sekolah tersebut.

Laporan dilakukan AR (17) dan orang tuanya S (58) warga Surabaya. Bukti tanda pelaporan dari Polrestabes Surabaya No: TBLB/210/III/RES.1.24/2021/RESKRIM/SPKT Polrestabes Surabaya.

Baca juga: USC Hadirkan Pakar, Redam Trauma Warga Pasca Banjir Lewat Hypno Healing

Dikatakan oleh S, yang disebutkan dari pengakuan korban, peristiwa terjadi akhir Desember 2019, tiga hari sebelum tahun baru. Saat itu anaknya sebenarnya tengah menjalani masa magang, dan tidak ada jadwal di sekolah.

"Korban mengaku, datang ke sekolah naik gojek setelah sebelumnya mendapat WA dari kepala sekolah (AF), sekira pukul 08 atau 09 pagi. Di sekolah anaknya menghubungi AF dengan hp yang dibawa, kemudian diajak masuk ke ruang kepala sekolah," urai S, saat berbincang dengan media ini di rumah S, Jumat (4/3/2021).

Awalnya, AF mengajak AR berbincang. Lalu beranjak berdiri dan menutup pintu ruang kepala sekolah dari dalam dan kuncinya masukkan ke saku celananya, sambil berjalan menghampiri siswinya.

"Saya mendapat cerita itu, Rabu sampai Kamis malam tak bisa tidur, saya menghubungi Y guru di sekolah itu. Tetapi komunikasi WA yang saya dapat tidak memuaskan, saya suruh datang ke rumah pun mengatakan sibuk menjaga ujian (saat itu, ada ujian hari Kamis). Lantaran, tidak ada komunikasi, saya dan anak saya kemudian melaporkan hal ini ke Polrestabes," katanya.

"Saya berharap peristiwa ini bisa terkuak, karena sangat memalukan seorang pendidik yang juga kepala sekolah, selain mendidik dan menjaga serta mengantar anak didiknya untuk meraih masa depan dan cita-citanya, malah berbuat seperti itu. Kami minta keadilan, mohon maaf, peristiwa seperti ini bisa terjadi kepada siapa saja, harus dihentikan," urai S. 

Kejadian itu dipendam oleh AR. Tak berani mengungkapkan kepada siapapun karena trauma. Peristiwa yang dialami AR kelas XII itu mencuat, saat bapaknya meminta bersiap-siap untuk esok hari mengikuti ujian, dan ternyata diketahui sudah sejak Desember itu, tidak mau masuk sekolah.

"Saya, baru tahu kemarin, setelah saya kembali ke rumah ini dari Jakarta. Juga dari penuturan kakak AR yang menyebut adiknya kerap mengurung diri di kamar dan tak ceria. Apalagi sejak pandemi Covid ini," tambahnya.

Orang tua AR berharap peristiwa ini terkuak dan komisi perlindungan anak peduli dengan anak-anak atau pelajar terkait masa depannya. Terlapor bisa diperiksa dengan aturan tindak pidana Pencabulan Terhadap Anak yang diatur dalam Pasal 83 UU RI No.17 Th 2016 jo. Pasal 76-e UU RI No.35 Th 2014 tentang Penetapan Perppu No.1 Th 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU RI No.23 Th 2002 tetang Perlindungan Anak menjadi UU.

Terkait laporan tersebut, Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polrestabes Surabaya, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Oki Ahadian membenarkan, pihaknya menerima laporan tindak pidana dugaan pencabulan yang menyangkut seorang kepala sekolah SMK swasta di Surabaya.

"Kami menerima laporan tentang tindak pidana asusila pencabulan yaitu menyangkut oknum kepala sekolah swasta di Surabaya, berdasarkan laporan itu kami akan tindak lanjuti, alat bukti dan keterangan saksi-saksi," kata Oki.

Kepala Sekolah SMK Cabul, Lely Yuana: Ruang Tumbuh Anak Jangan Tebang Rasa Aman

Dikutip dari KBRN Surabaya, - Menurut CEO U Save Children (USC) Lely Yuana, kasus pelecehan seksual secara verbal maupun tindakan yang terjadi baik di lingkungan pendidikan maupun lingkungan kerja adalah bentuk watak superioritas pelaku yang harus diberantas. 

Lely Yuana, yang juga jurnalis itu menegaskan kasus asusila yang dilakukan oknum kepala sekolah menengah kejuruan di Surabaya terhadap salah satu siswinya bisa menjadi bukti.

"Ini, Ironis! di mana ruang tumbuh anak menuju remaja tidak memberi rasa aman. Ruang tumbuh anak jangan tebang rasa aman bagi mereka," terang Lely di Surabaya, Jumat (5/3/2021). 

Dugaan pelecehan seksual kepada korban harus mendapat penanganan serius. Karena korban telah menghadapi dua masalah berat dalam kondisi saat ini. Belum lagi penerapan belajar dari rumah saat pandemi memberikan dua sisi kompleksitas.

Yaitu justru makin membuat terpuruk atau malah mendukung upayanya menemukan rasa aman karena artinya minim kontak tatap muka dengan pelaku. Masalah itu bisa membuat korban harus beradaptasi dengan situasi merasa terisolir. 

"Sehingga jangan sampai traumatis membuatnya merasa menghadapi dunia ini sendiri. Harus ada pendampingan psikologi. Pemerintah harus hadir dan memahami situasi ini tidak bisa dianggap remeh," tandasnya.

Ia berharap ketegasan dalam upaya penyidikan kasus tersebut. Agar sanksi norma kesusilaan dan hukum tak sekedar efek jera bagi predator anak.

Sedangkan bagi korban, ia meminta kepada semua pihak agar tidak menyudutkan korban. 

"Jangan biarkan anak dan lingkungan menyalahkan dirinya, masyarakat harus bisa menempatkan diri di posisi korban," tuntasnya.

Catatan Komnas Anti Kekerasan Perempuan Tahun 2020

Dalam catatan Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Perempuan sepanjang tahun 2020, sebagai berikut: Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19. 

Catatan Tahunan Komnas Perempuan diluncurkan setiap tahun untuk memperingati Hari Perempuan Internasional pada tanggal 8 Maret. Data tersaji adalah kompilasi data kasus riil yang dihimpun dari 3 sumber yakni; Data Peradilan Agama (Badilag), Data Lembaga Layanan Mitra Komnas Perempuan baik yang dikelola oleh Negara maupun atas inisiatif masyarakat.

Termasuk di dalamnya adalah lembaga penegak hukum, dan Data Unit Pelayanan dan Rujukan, unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan, untuk menerima pengaduan langsung dari korban. Data ini juga memuat hasil pemantauan dan kajian Komnas Perempuan. 

Menyesuaikan kondisi pandemi Covid-19, pada tahun ini Komnas Perempuan juga mengirimkan formulir kuesioner dalam dua format yaitu google form dan dalam format word. Formulir ini memuat tentang identifikasi kasus kekerasan berbasis gender. 

Jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus, terdiri dari kasus yang ditangani oleh: [1] Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama sejumlah 291.677 kasus. [2] Lembaga Layanan Mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus. [3] Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sebanyak 2.389 kasus, dengan catatan 2.134 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 255 kasus di antaranya adalah kasus tidak berbasis gender atau memberikan informasi.

Sebanyak 299.911 kasus yang dapat dicatatkan pada tahun 2020, berkurang 31% dari kasus di tahun 2019 yang mencatat sebanyak 431.471 kasus.

Data KtP dari Mitra Lembaga Layanan

Dari sejumlah 8.234 kasus yang ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, jenis kekerasan terhadap perempuan tercatat: Kasus yang paling menonjol adalah di Ranah Personal (RP) atau disebut KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/ Ranah Personal) sebanyak 79% (6.480 kasus).

Diantaranya terdapat Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (50%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (15%), sisanya kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

Kekerasan di ranah pribadi ini mengalami pola yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, bentuk kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 2.025 kasus (31%) menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual sebanyak 1.983 kasus (30%), psikis 1.792 (28%), dan ekonomi 680 kasus (10%).

KtP berikutnya, adalah di Ranah Publik atau Komunitas sebesar 21 % (1.731 kasus) dengan kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55%) yang terdiri dari dari kekerasan seksual lain (atau tidak disebutkan secara spesifik) dengan 371 kasus, diikuti oleh perkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus, pelecehan seksual 181 kasus, persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan 10 kasus.

Pada Ranah Komunitas CATAHU tahun ini terjadi kenaikan kasus dalam perdagangan orang dibandingkan tahun sebelumnya dari 212 menjadi 255, dan terdapat penurunan pada kasus kekerasan terhadap perempuan pekerja migran dari 398 menjadi 157. 

Berikutnya, KtP di ranah dengan Pelaku Negara, kasus-kasus yang dilaporkan sejumlah 23 kasus (0.1 %). Data berasal dari LSM sebanyak 21 kasus, WCC (Women Crisis Center) 2 kasus dan 1 kasus dari UPPA (unit di Kepolisian). 

Kekerasan di ranah negara antara lain adalah: perempuan berhadapan dengan hukum 6 kasus, kekerasan terkait penggusuran 2 kasus, kebijakan diskriminatif 2 kasus, kekerasan dalam konteks tahanan dan serupa tahanan 10 kasus, serta 1 kasus dengan pelaku pejabat publik.

Tahun 2020 tercatat 77 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas dan perempuan dengan disabilitas intelektual merupakan kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan sebesar 45%. Tercatat 13 kasus kekerasan terhadap LBT, bertambah 2 kasus dari tahun 2019 (11 kasus), dengan kekerasan yang mendominasi adalah kekerasan psikis dan ekonomi. 

Yang menarik untuk dicermati bahwa hanya terdapat 1 kasus kekerasan terhadap LBT yang diteruskan ke ranah hukum hingga tahap penyidikan di Jawa Tengah. 

Kekerasan yang dialami oleh Perempuan Pembela HAM (Women Human’s Rights Defender-WHRD) di tahun 2020 sebanyak 36 kasus, naik dari tahun lalu yang hanya dilaporkan sebanyak 5 kasus.

Pada Data Lembaga Penyedia Layanan menunjukkan bahwa KBGS (Kekerasan Berbasis Gender Siber) meningkat dari 126 kasus di 2019 menjadi 510 kasus pada tahun 2020. Bentuk kekerasan yang mendominasi KBGS adalah kekerasan psikis 49% (491 kasus) disusul kekerasan seksual 48% (479 kasus) dan kekerasan ekonomi 2% atau 22 kasus. (tji/net/red)

Editor : Tudji Martudji

Photo
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru