Perempuan di Garis Depan Penanganan Krisis Iklim dan Lingkungan
JAKARTA, INFONews.ID - Dalam menghadapi krisis iklim dan lingkungan yang semakin nyata, perempuan memegang peran krusial dalam mencari solusi yang berkelanjutan. Perubahan iklim tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga memperburuk ketidaksetaraan gender, terutama di negara-negara berkembang.
Perempuan yang bergantung pada sumber daya alam untuk mata pencaharian sering kali menghadapi tantangan lebih besar akibat degradasi lingkungan, sementara akses mereka terhadap layanan dasar seperti pangan, air bersih, dan kesehatan semakin terbatas. Untuk itu pemberdayaan perempuan dalam sektor lingkungan menjadi kunci untuk membangun ketahanan terhadap perubahan iklim.
Menyoroti peran perempuan dalam menghadapi tantangan ini, Rumah Kebangsaan bersama Medco Foundation serta Ars86care, Gerbangtara, JCI, Solar Chapter, Maharani, Kentauros, Tetrajaya, Youcan, dan didukung oleh Kompas, menggelar Arifin Panigoro Dialog ke-16 dengan tema "Perempuan di
Garis Depan Penanganan Krisis Iklim dan Lingkungan."
Acara ini menghadirkan para pakar dan praktisi di bidang lingkungan dan energi terbarukan, termasuk: Endah Tri, Direktur Penghimpunan & Pengembangan Dana-BPDLH; Ary Sudijanto, Deputi Bidang Perubahan Iklim & Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon BPDLH; Mada Ayu H., Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia
(AESI); Bapak Arief Wijaya, Direktur Pelaksana WRI Indonesia; Dinna P. Rahardja, CoFounder Synergy Policies.
Dalam diskusi ini, Mada Ayu H, mereka menyoroti pentingnya pemanfaatan energi terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), air, dan geothermal sebagai solusi terhadap eksploitasi
sumber daya alam yang berlebihan.
Namun, infrastruktur listrik yang belum optimal masih menjadi tantangan utama dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Pemerataan jaringan listrik oleh PLN dan dukungan regulasi seperti Peraturan No. 5 Tahun 2025 dan No. 2 Tahun 2024 menjadi kunci percepatan transisi energi. Selain itu, perempuan memiliki peran penting dalam sektor energi terbarukan, terutama di PLTS, karena teknologinya lebih mudah dipelajari dan dikelola.
Endah Tri menekankan bahwa pendanaan transisi ke ekonomi hijau membutuhkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk sektor swasta.
"Dengan kebutuhan dana sebesar 280 miliar USD. Sementara ketersediaan saat ini baru mencapai 30 miliar USD dan yang benar-benar dikelola hanya sekitar 1 miliar USD, diperlukan solusi inovatif untuk menutup kesenjangan pendanaan. Investasi asing dan kolaborasi lintas sektor menjadi strategi yang perlu dikembangkan untuk mempercepat transisi menuju ekonomi hijau," urainya.
Kemudian, Ary Sudijanto mengungkapkan bahwa perubahan iklim telah berdampak pada hilangnya biodiversitas dan meningkatnya pencemaran. Indonesia berupaya menjadi agen perubahan dengan menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 32,9–43,2% serta memperkuat upaya adaptasi.
"Namun, tantangan pendanaan tetap menjadi hambatan utama, terutama setelah mundurnya Amerika Serikat dari Paris Agreement. Indonesia memfokuskan lebih banyak dana pada program adaptasi karena biaya yang lebih rendah dibandingkan mitigasi, sementara kerugian akibat perubahan iklim diperkirakan mencapai 300 miliar USD tanpa skema pendanaan yang jelas," urai Ary Sudijanto.
Arief Wijaya, Direktur Pelaksana WRI Indonesia menegaskan bahwa dunia telah gagal melawan perubahan iklim, terbukti dari suhu global yang terus meningkat dalam lima tahun terakhir.
Target emisi masih kurang ambisius, seperti Indonesia yang menetapkan batas suhu maksimum 2,7–3,4°C, melebihi ambang batas ideal 1,5°C.
"Pendanaan iklim juga belum mencukupi, dengan hanya 300 miliar USD disepakati dari target 1,3 triliun USD dalam COP29. Sementara negara Nordik berhasil beralih ke energi terbarukan hingga 98%, Indonesia masih bergantung pada eksploitasi sumber daya alam yang bisa memperburuk ekonomi pasca-2045," katanya.
Perubahan gaya hidup dan penguatan kebijakan dibutuhkan untuk menghadapi tantangan ini.
Dinna P. Rahardja, Co-Founder Synergy Policies menyoroti kebijakan iklim Indonesia yang terlalu kompleks dan kurang fokus. Kota-kota besar seperti Jakarta berisiko tenggelam, sementara Jawa dan Bali terancam krisis air bersih. Berbeda dengan Vietnam yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui sektor pertanian dan manufaktur, Indonesia masih bergantung pada
sektor mineral.
Dampak kesehatan akibat perubahan iklim juga meningkat, sementara dana kapitasi puskesmas yang minim menjadi tantangan besar. Perempuan, sebagai penggerak ekonomi, masih menghadapi hambatan akses dan perlindungan kerja.
"Indonesia perlu reformasi kebijakan yang lebih konkret agar menguntungkan masyarakat luas," tegasnya
Diskusi ini diharapkan dapat menginspirasi lebih banyak perempuan untuk mengambil peran aktif dalam menghadapi krisis iklim serta mendorong sinergi antara pemerintah, sektor swasta, BUMN, dan masyarakat luas dalam menciptakan solusi berkelanjutan demi masa depan yang lebih baik bagi semua. (inf/rls/red)
Editor : Tudji Martudji