Eddy Junaidi, Ketua Umum Yayasan Kalimasadha (Foto: IN/ist)

INFOnews.id | Jakarta - Rakyat Indonesia tidak mengenal kehancuran karena tidak berjarak dengan kehancuran, juga antara kehancuran dan kejayaan, antara sedih dan gembira, antara maju dan mundur, hebat dengan dungu, mulia dan hina, tidak bersifat dikotomis tidak berhulu hilir karena hulu juga hilirnya.

Bangsa Indonesia terlahir unik penuh dengan mitologis. Sumpah Pemuda (1928) adalah konsolidasi berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu: “Indonesia”, dengan berbagai suku, ras, agama, dan aliran (Bhinneka Tunggal Ika). Semua bersatu setelah 17 tahun memerdekakan diri dari belenggu penjajahan (NKRI 1945). 

Sayangnya, Kabinet Soekarno condong ke“barat”, sehingga lupa bahwa Pancasila dan UUD 1945 lahir hasil kompromi terbesar rakyat Indonesia (yang mayoritas Islam).

Jujur, Pancasila dan UUD 1945 belum pernah diterapkan secara utuh (murni dan konsekuen). Orde Lama lebih berupa jargon politik (terpeleset dengan Nasakom), Orde Baru berupa doktrin (otoriter), dan Reformasi lebih celaka lagi, yakni disorientasi dan tersesat jauh.

Politik tersesat pada demokrasi Liberal-Kapitalistik, ekonomi; Kapitalistik Ortodok (hidup kembali oligopoli dan kartel), hukum tanpa keadilan.

Kelompok yang ingin kembali ke UUD 1945 ingin kembali pada roh bangsa. PR selanjutnya, Undang-Undang derivatif hasil amandemen (2002) yang membuka karpet merah pada oligarki untuk mengatur politik, ekonomi, dan bisnis, serta penegakkan hukum. 

Di era Jokowi menjadi anti klimaks. Memang, jika tersesat jauh harus kembali ke titik nol, tapi bukan dengan memindahkan ibukota Negara. Pulau Jawa dengan segala fakta dan mitologinya adalah sokoguru budaya Indonesia. Lepas sebagian kalangan non Jawa menolak itu.

Sejarah bangsa kita digelapkan mulai penghapusan pelajaran sejarah (fakta), kewarganegaraan (semangat cinta bangsa dan tanah air), dan budi pekerti (tata krama Nusantara), sampai bahasa ibu di rumah pun sudah hilang, nama anak-anak kita ke-barat- baratan dan ke-arab-araban saat ini. 

Kita sudah tersesat jauh saat ini sarat dengan peradaban imitasi dan tidak mewariskan sistem nilai Indonesia. Rakyat akan “pasif” dan berucap “sak karepmu”: “Ayo pajak kami sebanyak yang kamu mau, kami harus vaksin, PCR, dan apalagi yang kamu mau???”

Jika kalian hilangkan fakta sejarah, apa yang kalian wariskan untuk anak cucu, karena sejarah ibarat “kaca spion” dalam mengemudi. “Sejarah semua bangsa sebagai perjuangan ideologi dan pencarian keadilan” (Thomas Piketty-2019).

Nilai Barat dan Nusantara tidak ada garis lurus interval, karena sekarang sudah menjadi bersambung. Saat ini rakyat Indonesia dengan Sorga tidak rindu-rindu amat, dan Neraka mereka juga tidak ngeri karena “Kemal Attaturk” mau jadi pahlawan di Indonesia (sekulerisme) yang jika terjadi akan digeser pada ideologi tertentu.

Kembali ke hulu Nusantara, adalah merenungkan kembali ke nilai leluhur bangsa. Kembali dulu ke titik nol, yakni terapkan UUD 1945 secara utuh dengan perubahan mendasar jika sudah tersesat jauh. Berikutnya stop oligarki, jangan sampai berlanjut!.(*)

Editor : Tudji Martudji

Berita Terbaru