INFOnews.id | Surabaya - Konflik Amerika Serikat (AS) dan China kian memanas. Ada banyak hal jadi penyebab kedua negara superior ini bersitegang, salah satunya soal klaim Negeri Panda tersebut atas kepemilikan Laut China Selatan (LCS).

Tiongkok sendiri, melakukan berbagai upaya mengukuhkan kepemilikan LCS. Bahkan menganggap klaim Vietnam terkait laut itu ilegal.

Seperti yang disampaikan Kementerian Luar Negeri China. Pada 4 April lalu, Vietnam mengirimkan surat protes ke China setelah kapal nelayan yang ditumpangi 8 orang ditenggelamkan di Pulau Paracel.

Kementerian Luar Negeri Vietnam menyebut bahwa Pulau Paracel dengan nama Vietnam, dan perairannya mereka menamai Laut Timur.

"Kapal China melakukan aksi yang melanggar kedaulatan Vietnam atas kepulauan Hoang Sa dan mengancam nyawa dan merusak properti juga kepentingan sah nelayan Vietnam," kata Kementerian Luar Negeri Vietnam dalam pernyataan melalui situs resmi pemerintah setempat.

Vietnam tak tinggal diam, mereka pun mengajukan protes ke PBB atas pergerakan yang dilakukan Tiongkok di Laut China Selatan.

Selain itu, China juga membuat gebrakan baru mengenalkan Undang-Undang Keselamatan Lalu Lintas Maritim, 1 September 2021. Namun, selang beberapa waktu dipublikasikan malah mendapat perlawanan dari USA dengan mengirimkan kapal Destroyer dan meluncur di dekat Kepulauan Spratly di LCS, Rabu, (8/9/2021).

AS mengklaim operasi yang dilakukan sesuai aturan Hukum Internasional (HI). Selanjutnya kapal super itu akan melanjutkan operasi normal di perairan internasional.

USS Benfold milik AS merupakan kapal perusak kelas Arleigh Burke berlayar dalam jarak 12 mil dari Mischief Reef, bagian dari Kepulauan Spratly.

Geram, Siap Kerahkan Armada ke Laut Barat AS

Tiongkok pun bereaksi, sebagai balasannya mereka dikabarkan akan mengirimkan angkatan laut ke pesisir barat laut AS. Dan, AS dianggap memulai sinyal perang atas masuknya kapal tersebut.

Wartawan investigasi, Ben Swann menuliskan ulah AS dengan kapal perusaknya itu dianggap sebagai provokasi.

"Sekarang dorongan di China adalah untuk memberikan tanggapan yang tepat, agar China mengirim dalam jarak 12 mil dari pangkalan AS serta sekutu AS yang kemungkinan akan dipandang sebagai tindakan perang," katanya dikutip dari Express.

Lebih ngeri lagi, salah satu pejabat China telah mengancam AS dan berjanji akan mewujudkan Perang Dunia ke tiga. Selain itu, dia juga berjanji akan membentuk kembali pemahaman dunia barat tentang intimidasi AS di Laut Natuna Utara.

"Yang Jiechi, direktur komisi urusan luar negeri pusat, yang mengatakan hanya dengan membuat AS merasakan obatnya sendiri, China dapat menyentuh saraf AS dan sekutunya,” katanya.

Sederetan Konflik

Ketegangan ini terus berlanjut. Duta besar China untuk AS dilaporkan nekat membentak pejabat AS.

Dilansir dari CNNIndonesia, Duta Besar China Qin Gang, yang belum lama ditunjuk untuk Amerika Serikat, membentak pejabat AS untuk diam jika perselisihan mereka tidak dapat diselesaikan secara diplomatis, saat acara pertemuan secara daring.

Qin meminta AS segera berhenti memperburuk ketegangan antara kedua negara. National Review menyampaikan arogansi Qin telah membuat mereka terkejut. Baik China maupun AS masih belum berkomentar terkait dugaan pernyataan Qin dalam acara tersebut.

"Jika kita tidak dapat menyelesaikan perbedaan kita, harap tutup mulut," kata Qin dalam pertemuan Zoom pribadi yang diselenggarakan oleh Komite Nasional Hubungan Amerika Serikat-China, (sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di New York), akhir bulan lalu.

"Kebijakan ekstrem China dari pemerintahan AS sebelumnya telah menyebabkan kerusakan serius pada hubungan kami, dan situasi seperti itu tidak berubah. Itu bahkan akan berlanjut," keluh Qin.

Sebelumnya, Presiden AS Biden juga pernah menyulut emosi China, terkait pembelaan Washington terhadap kedaulatan Taiwan. China, yang menganggap Taiwan bagian dari kesatuan negaranya marah. AS diingatkan siap-siap menghadapi 'badai' yang jauh lebih besar di Selat Taiwan, jika tidak mundur dari posisi presiden.

Sebab, dukungan AS tersebut dinilai sebagai sokongan terhadap 'gerakan separatis.' China juga terus mengirimkan armada militernya ke Selat Taiwan.

AS Melemah

Di tengah memanasnya hubungan kedua negara, tiba-tiba Biden menghubungi Presiden China Xi Jinping, Kamis 9 September lalu, dalam sambungan telepon selama 90 menit.

AS ingin memastikan persaingan antar kedua negara tidak mengarah kepada konflik di masa depan. Ini merupakan panggilan telepon pertama para pemimpin 2 negara sejak Februari 2021. Saat itu, Joe Biden dan Xi Jinping berbicara selama dua jam.

"Dinamika tetap kompetitif. Dan, bahwa kita tidak memiliki situasi apa pun di masa depan di mana kita mengarah ke konflik yang tidak diinginkan," kata seorang pejabat senior pemerintah AS kepada wartawan, dikutip dari AFP.

Express melaporkan panggilan telepon Presiden Joe Biden yang mengakhiri 'perang dingin' AS – Tiongkok ini merupakan kali kedua.

The Global Times menyebut pemerintah AS di Washington memohon kepada Negeri Tirai Bambu agar mau bekerja sama guna mengakhiri pandemi Covid-19.

Biden juga dilaporkan menelepon untuk meminta bantuan terkait permasalahan iklim, kondisi Afghanistan, serta memperbaiki perekonomian paska pandemi Covid-19.

“Pemerintahan di bawah Joe Biden sedang menghadapi tekanan yang sangat besar dari dalam negeri karena terlalu banyaknya krisis bermunculan,” tulis The Global Times.

Xi Jinping tentunya tidak pernah menerka jika Biden akan menghubunginya. Pasalnya, selama ini AS menjadi penentang klaim China atas LCS. Bahkan, bentuk penentangan AS atas kepemilikan klaim laut tersebut membuat China kebakaran jenggot, China pun meradang dan mengancam akan membalasnya.

Sementara ini, China boleh merasa di atas angin dan gagah untuk menguasai LCS, seiring sikap AS yang seolah melemah. Namun, pastinya kedua negara ini memegang prinsip, ego dan hasrat masing-masing, untuk 'menguasai'. Akankah perang dunia tersulut dari persoalan ini? (net/rya/tji/red)

Editor : Redaksi

Berita Terbaru