INFOnews.id | Surabaya - Siapa yang tidak mengenal nama Raden Ayu Kartini, putri bangsawan dari Desa Mayong, Jepara, Jawa Tengah yang terkenal sebagai pelopor emansipasi wanita pribumi-nusantara? Beliau lahir pada tanggal 21 April 1879, anak biologis pasangan suami-istri RM Adipati Ario Sosroningrat dengan MA Ngasirah.
Pemilik gelar Pahlawan Nasional sejak 1964 ini, merupakan sosok yang dikenang dengan perjuangannya melawan ketidakadilan terhadap kaum perempuan pribumi, terutama hak mendapatkan pendidikan.
Baca juga: Gubernur Khofifah Dampingi Kapolri Ziarah Makam Gus Dur di Jombang
Perjuangan Kartini memang tidak dilakukan dalam medan peperangan, melainkan melalui kekuatan ‘tulisan’, yaitu rangkaian surat yang berisi berbagai gagasan, harapan, dan kritik terhadap keterbatasan hak perempuan.
Meninggalnya sosok Kartini di usia yang teramat muda, yaitu usia 25 tahun pada 1904 silam, tidak kemudian membuat bangsa ini kehilangan sosok perempuan-perempuan hebat.
Diantara perempuan hebat yang saat ini selalu hangat diperbincangkan adalah Hj. Khofiffah Indar Parawansa. Perempuan yang dikenal sebagai “Wanita Tangguh yang Berani Lawan Arus” akibat keberaniannya melontarkan pandangan-pandangannya tentang demokratisasi di depan Sidang Umum Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) Januari 1998 silam.
Fakta sejarah membuktikan, bahwa Khofifah yang saat itu berusia 33 tahun, telah menjadi salah satu pioner konsep ‘Demokrasi’ yang kemudian menjadi cikal bakal era reformasi.
Jika Kartini dikenal lewat tulisan yang ‘berani’, maka Khofifah-lah seorang perempuan yang dikenal sebagai ‘pembicara’ berani tanpa menanggalkan sedikitpun kesan cerdas.
Perjalanan ‘gagasan’ dan ‘keberanian’ seorang ‘Wanita Tangguh yang Berani Lawan Arus’ tersebut, tidak berhenti dan terus bergulir sehingga menjadi inspiratif dan kebanggaan kaum perempuan.
Namun Khofifah tetaplah seorang perempuan, seorang ibu yang memiliki kekuatan empati. Maka tak heran, Khofifah pun terus melekat di hati masyarakat sebagai salah satu sosok ‘Humanisme’ di negeri ini.
Cerdas, humanis, dan penuh kepedulian, menjadi harga mati sehingga sosok Khofifah disebut sebagai Kartini masa kini. Terlebih, sosok Khofifah kini memang seringkali disebut sebagai Ibu Gubernur, selepas dilantiknya sebagai orang nomer satu di Jawa Timur pada 13 Februari 2019 lalu, namun tak sedikit masyarakat yang masih menyebutnya sebagai ‘Bunda’.
‘Bunda’, sebuah ungkapan yang menjadi pengejawantahan sosok seorang ‘Ibu’ bagi masyarakat, sebuah hubungan afeksi yang tidak terbentuk karena hubungan darah.
Mantan Menteri Sosial dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan ini, nyatanya masih sangat melekat di hati masyarakat Indonesia, bukan hanya Jawa Timur yang menjadi area kepemimpinannya. Khofifah, seorang ‘Bunda’ yang lahir di kota Pahlawan Surabaya, saat ini menjadi top of mind berbagai lembaga survey tatkala menggambarkan sosok pemimpin bangsa ini kelak, tentunya pasca pemerintahan Jokowi.
Bahkan, Tokoh Perempuan Nahdlatul Ulama (NU) ini termasuk salah satu dari 6 Tokoh Perempuan Hebat Dunia versi Her World (2019), yaitu selain putri Reema (Arab Saudi), Neema Kaseje (Afrika), Malala Yousafzai (Pakistan), Sabrina Pasterski dan Melinda Gates (AS).
Kini, “Bunda” Khofifah terlihat tengah memperjuangkan semangat literasi di tengah masyarakat. Dengan menyebut ‘Literasi Digital Memberdayakan Masyarakat Desa’, Khofifah secara lugas mengapresiasi program literasi yang digalakkan oleh Perpustakaan Nasional (Perpusnas).
Menurut dia, literasi, transformasi digital, dan disrupsi pasar kerja menjadi bagian dari peluang dan tantangan kerja era revolusi industri 4.0. Revolusi industri 4.0 menitikberatkan kemampuan SDM dengan keahlian tinggi dan spesifik.
Maka, kecakapan literasi akan menjadi salah satu indikator penting dalam pasar bebas dunia. Hal ini diterangkannya dalam Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat (PILM) di Gedung Negara Grahadi, Surabaya (16/4).
"Bisa dikatakan tulang punggung (back bone) ekonomi dunia pada 2030 mendatang adalah UMKM yang berbasis e-commerce. Oleh karena itu, penting membekali para pelaku UMKM dengan kemampuan literasi, utamanya literasi digital.
Apalagi mayoritas pelaku usaha di Indonesia notabene adalah UMKM. Kolaborasi UMKM dengan perpustakaan sangat bisa diandalkan dalam pertumbuhan dan pertambahan UMKM mau pun start up secara signifikan di Jawa Timur.”
Semangat penguatan literasi oleh Bunda Khofifah, sangat identik dengan spirit perjuangan sosok Kartini yang memperjuangkan kesetaraan gender melalui literasi (tulisan), salah satu bukti ‘literasi’ perjuangan Kartini adalah yang tertuang dalam surat untuk Ovink-Soer (tahun 1900): “Bila orang hendak sungguh-sungguh memajukan peradaban, maka kecerdasan pikiran dan pertumbuhan budi harus sama-sama dimajukan. Dan, siapa yang bisa paling banyak berbuat untuk yang terakhir itu, yang paling banyak membantu mempertinggi kadar budi manusia? Perempuan.
Baca juga: Gubernur Khofifah Ajak Tingkatkan SDM, Turunkan Stunting dan Sukseskan MBG
Karena, di pangkuan perempuan lah pertama-tama manusia menerima pendidikannya. Di sana anak mula-mula belajar merasa, berpikir, berbicara.”
Ungkapan Kartini tentang pentingnya peran perempuan dalam membentuk pendidikan anak, juga dijelaskan dalam agama.
Salah satunya dalam Islam, yang menekankan pentingnya pendidikan bagi anak, yang mana proses tersebut terbentuk dari keluarga, terutama sosok ibu, sebagaimana hadis: “Sesungguhnya adalah termasuk kewajiban orang tua terhadap anaknya mengajarinya menulis, memberinya nama yang baik dan mengawinkannya apabila telah sampai umur.” (HR. Ibnu Najar dari Abu Hurairah, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 2489).
Dan kini, mimpi Indonesia Maju bukanlah isapan jempol karena hadirnya sosok-sosok perempuan hebat yang menjadi tokoh inspiratif kaum perempuan.
Maka: Perempuan, Jangan Ragu Bangun Mimpi Untuk Indonesia.
Oleh: Dr. Lia Istifhama, M.E.I., (Aktivis, Penulis)
Editor : Tudji Martudji