Pahlawan Revolusi dan Pahlawan Ampera Korban Tragedi G30S/PKI 1965
INFONews.id | Surabaya -Tak dapat dipungkiri, sejarah telah mengukir dan mengabadikan nama-nama 11 Pahlawan Revolusi dan 13 Pahlawan Ampera. Mereka ini gugur sebagai pahlawan, saat peristiwa atau tragedi Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965 yang didalangi PKI (Partai Komunis Indonesia) atau biasa ditulis G30S/PKI.
Hari ini, 30 September 2020, tepat 55 tahun peristiwa berdarah itu terjadi. Kita naikkan bendera setengah tiang, sebagai penghormatan kepada para Pahlawan Revolusi dan Pahlawan Ampera tersebut. Besoknya tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Bendera dikibarkan satu tiang penuh.
Ini adalah peristiwa bersejarah yang kelam di Indonesia tahun 1965. Para Pahlawan Revolusi dan Pahlawan Ampera itu gugur, akibat kekejaman oknum-oknum militer dan para anggota PKI beserta Ormasnya yang tergabung dalam G39S/PKI waktu itu.
Kendati PKI dan Organisasi yang bernaung di bawahnya sudah dibubarkan dan dilarang hidup di bumi Indonesia, namun gerakan "misterius" kembali muncul. Ada upaya membengkokkan sejarah G-30-S/PKI tahun 1965 itu. Bahkan terasa dan terlihat semakin masif dan sistematis.
Kini kaum milenial seolah-olah diombang-ambingkan berbagai informasi yang menyesatkan. Apalagi, kini guru dan dosen bagi para murid, siswa dan para mahasiswa, bukan hanya yang berada di ruang kelas atau perkuliahan. Mereka bisa berhadapan langsung dengan sang mahaguru, "mbah Google" di internet sebagai kampusnya di dunia maya.
Jangan salahkan, kalau kini para kakek dan nenek, ayah dan ibu mereka yang berjuang serta lahir di zaman Orde Lama (Orde Lama), Orde Baru (Orba), terpaksa “mengurut dada”. Sebab, anak-anak sekarang sudah mengalami perubahan pola pikir yang tidak sama. Generasi era reformasi ini, bagaikan berlayar di tengah hantaman gelombang badai.
Terjadi perbedaan dalam biduk sejarah yang berkaitan dengan peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Selama 32 tahun masa Orde Baru berkuasa, tahun 1966 hingga 1998, mayoritas rakyat Indonesia sudah hafal peristiwa yang terjadi di negara ini. Segala bentuk kegiatan Poleksosbud dan Hankam (Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya dan Pertahanan Keamanan) di tiga dekade itu diikuti dengan seksama.
Tiga generasi sudah kenyang melahap sejarah sejak zaman Orde Lama (Orla) yang beralih ke rezim Orde Baru, terus ke era Reformasi. Generasi zaman ini tahu persis sepak terjang para penguasa. Mulai rezim Presiden Sukarno (1945-1966) dan Jenderal Soeharto (1966-1998) serta era Reformasi yang sudah dipimpin lima orang presiden.
Sekedar mengingatkan, inilah lima Presiden di era reformasi: Baharuddin Jusuf Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (1999-2001) Megawati Soekarnoputri (2001-2004), Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (2004-2014) dan Joko Widodo alias Jokowi (2014-2024).
Masa Presiden Soeharto, situasi berubah akibat derasnya tuntutan Kesatuan Aksi Angkatan 66 yang disebut Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Gerakan aksi demo turun ke jalan, mahasiswa dan pemuda pelajar dengan tema Tritura itu adalah: Bubarkan PKI, Turunkan Harga dan Reshufle Kabinet 100 Menteri.
Politik Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis), serta Demokrasi Terpimpin zaman Bung Karno, diubah menjadi Demokrasi Pancasila. Ekonomi yang merosot ditegakkan dengan menggiatkan pembangunan secara berencana. Pak Harto menatanya dengan tahapan Pelita (Pembangunan Lima Tahun).
Kendati sejarah masa lalu terbentang luas, namun alam pikir generasi sekarang bisa berkembang tanpa guru dan dosen. Cermin sejarah itu terpapar di hadapan mereka tanpa bingkai. Kisah dan cerita, beserta riwayat yang dibuat berdasarkan legenda, tutur tinular, dongeng, imajinasi, hoax, bahkan merujuk kepada babad dan tambo, kini dapat mengubah alur sejarah yang sebelumnya sudah baku.
Satu generasi “terputus”, lahir generasi yang sama sekali tidak tahu peristiwa sebenarnya di tahun 1965-1966. Mereka inilah yang membuat perubahan sejarah berdasarkan ilmu teknologi dan informasi yang canggih. Bahkan tanpa konfirmasi.
Generasi tua merasakan adanya “cuci otak” terhadap generasi baru, yang disebut milenial ini. Anak-anak muda bagaikan masuk ke alam gaib yang menimbulkan berbagai pandangan sejarah. Sehingga, terjadi pro dan kontra, serta perbedaan yang berhubungan dengan peristiwa G30S/PKI di tahun 1965 beserta rangkaiannya.
Ternyata perubahan cakrawala pandang itu terjadi di antara generasi sekarang adalah anak dan cucu, para “pesakitan” akibat kekuasaan Orba. Mereka yang bangkit di era reformasi ini ingin “balas dendam”. Dengan segala cara, berdalih meluruskan sejarah yang dibengkokkan, maka anak-cucu dari “pesakitan” yang juga menyebut dirinya "korban Orba" itu, ada yang secara fulgar menyebut sejarah zaman Orba, adalah sejarah yang dibengkokkan. Sehingga, perlu diluruskan.
Memang sejarah adalah sejarah. Untuk itu kita layak menelusuri secara runtut sejarah G30S/PKI. Apa yang melatarbelakangi, sehingga mereka melakukan penculikan dan pembunuhan para jenderal dan perwira TNI (Tentara Nasional Indonesia), juga yang dari Polri (Kepolisian Republik Indonesia).
Para pelaku memusatkan aksinya di wilayah Lubang Buaya, dekat Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, pada dini hari menjelang pagi tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965.
Tragedi berikutnya juga terjadi di Jogjakarta. Para korban yang gugur akibat kebiadaban G30S/PKI ini ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi.
Sebelas Pahlawan Revolusi itu adalah:
1. Jenderal Ahmad Yani,
2. Letjen Suprapto,
3. Letjen Mas Tirtodarmo Haryono,
4. Letjen Siswondo Parman,
5. Brigjen Donald Isaac Panjaitan,
6. Mayjen Sutoyo Siswomiharjo,
7. Kapten CZI Piere Andreas Tandean,
8. Ajun Inspektur Polisi (AIP) Karel Satsuit Tubun.
Selain delapan orang itu, dua perwira gugur di Jogjakarta, yakni: 9. Brigjen Katamso Darmokusumo dan 10.Kolonel R.Sugiyono Mangunwiyoto.
Satu lagi dimasukkan sebagai Pahlawan Revolusi adalah, anak dari Jenderal Abdul Haris Nasution, yaitu: 11. Ade Irma Suryani Nasution. Sebelas Pahlawan Revolusi itu, adalah bukti sejarah akibat perbuatan keji G30S/PKI.
Komandan Cakrabirawa, Letnan Kolonel (Letkol) Untung, secara resmi mengumumkan dirinya sebagai Pimpinan Tertinggi G30S. Para perwira tinggi yang diculik dan dibunuh itu, dinyatakan “musuh”, dengan tuduhan sebagai anggota Dewan Jenderal yang akan mengkudeta kepemimpinan Presiden Soekarno.
Setelah ditelusuri, G30S ini didalangi oleh PKI. Kemudian dengan terbitnya Surat Perintah tertanggal 11 Maret 1966 (Supersemar) dari Presiden Sukarno kepada Jenderal Soeharto, maka tanggal 12 Maret 1966, PKI dibubarkan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) No.XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme di bumi Indonesia.
Tidak hanya itu, kemudian para Mahasiswa dan Pemuda Pelajar yang tergabung dalam organisasi KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) bangkit. Mereka kemudian didukung pula oleh berbagai kesatuan aksi. Para guru bangkit dengan KAGI, buruh (KABI) dan sarjana (KASI). Semua Kesatuan Aksi ini bergabung sebagai Eksponen 66.
Dari kalangan Eksponen 66 atau Angkatan 66 itu, juga berguguran para Pemuda/Pelajar anggota KAPPI dan Mahasiswa anggota KAMI. Mereka ini diberondong peluru pendukung G30S/PKI saat berdemonstrasi pada rentang waktu tahun 1966-1967. Tidak hanya di ibukota Jakarta, tetapi juga di berbagai kota di Indonesia.
Dari catatan sejarah Angkatan 66, ada 13 orang anggota KAMI dan KAPPI dari berbagai daerah di Indonesia yang gugur saat melakukan aksi Tritura. Para pejuang Tritura 1966 ini diberi penghormatan dan jasa sebagai "Pahlawan Ampera" berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor: TAP MPRS XXIX/MPRS/1966.
Para Pahlawan Ampera itu adalah:
1. Arief Rachman Hakim, KAMI, di Jakarta
2. Ichwan Ridwan Rais KAPPI di Jakarta
3. Zubaedah KAPPI di Jakarta
4. M.Sjafi'i KAPPI di Jakarta
5. Zainal Zakse Wartawan KAMI di Jakarta
6. Yulius Usman KAPPI di Bandung, Jabar
7. Hasanuddin KAPPI di Banjarmasin, Kalsel
8. Margono KAPPI di Jogjakarta
9. Aris Munandar KAPPI di Jogjakarta
10. Ahmad Karim KAPPI di Bukittinggi, Sumbar
11. M. Syarif Al Kadri KAPPI di Makassar, Sulsel
12. Dicky Oroh KAPPI di Manado, Sulut
13. Yusuf Hasim KAPPI di Manado, Sulut.
Adanya keputusan resmi Pemerintah, menganugerahkan gelar Pahlawan Revolusi dan Pahlawan Ampera kepada yang gugur sebagai korban kekejaman G30S/PKI, merupakan bukti sejarah yang nyata. Jadi, bagaimana pun juga kita layak untuk mengetahui masa lalu melalui sejarah. Membaca peristiwa masa lampau.
Mempelajari berbagai dokumentasi. Bahkan menonton film dan video. Misalnya menyaksikan filem Pengkhianatan G30S/PKI yang biasanya diputar ulang setiap akhir September seperti saat ini. Kita juga perlu mengikuti jejak perjuangan pelajar dan mahasiswa, KAMI dan KAPPI, serta KANI, KAGI dan KASI.
Seluruh massa kesatuan aksi waktu itu kemudian dikenal sebagai Angkatan 66. Berdemonstrasi melakukan gerakan sporadis di seluruh daerah di Indonesia. Sehingga, segala bentuk kegiatan yang berbau komunis, dikikis habis, dilarang di Bumi Nusantara. (*)
*)Ketua DPP FKB KAPPI Angkatan 66. (Dewan Pimpinan Pusat Forum Keluarga Besar Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia Angkatan 66).
Editor : Redaksi