Orang-orang Jerman di Indonesia (Foto: IN/ist)

INFONews.id | Surabaya - Menelisik hal yang belum terungkap tuntas, ini demi pembelajaran sejarah anak-anak bangsa di Indonesia. Tentara Jerman dalam Perang Kemerdekaan Indonesia "terseret" arus Perang Dunia II. Tentara Jerman ini memutuskan ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia

Itu dibuktikan, selama masa perploncoan di Kawah Candradimuka Sarangan, Kadet Sayidiman Suryohadiprojo mengenal lelaki berkulit putih sebagai pelatih jasmani terbaik. Dia dikenal disiplin dan ulet.

Dengan gayanya, lelaki itu berhasil menjadikan para pemuda di Akademi Militer (AKMIL) Yogyakarta menguasai gerakan-gerakan senam yang sebelumnya hanya bisa dikuasi orang-orang Belanda. Adalah Her Hufper, seorang Jerman yang mengajar senam dan atletik bagi para kadet Akademi Militer Yogyakarta.

“Hufper bukan pelatih sembarangan, dia adalah pelatih senam tim Jepang dalam Olympiade tahun 1940 yang kemudian gagal diadakan,” ujar Sayidiman, terakhir memiliki pangkat Letnan Jenderal.

Menurut lulusan terbaik AKMIL Yogyakarta angkatan pertama tersebut, Hufper bukanlah satu-satunya orang Jerman yang terlibat dalam pendidikan para calon perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Di Sarangan, terdapat para instruktur Jerman yang mengajarkan bahasa asing (Jerman, Inggris, Prancis) dan keterampilan morse. Untuk materi yang terakhir ini, para Kadet AKMIL Yogyakarta dididik secara khusus oleh bekas markonis Jerman yang memiliki kemampuan mengirimkan dan menangkap tanda morse dalam kecepatan tinggi.

Sejarawan militer Nino Oktorino menyebutkan bahwa sejak menginjakan kaki di tanah Nusantara pada awal balatentara Jepang datang ke Jawa, sudah banyak perwira Jerman menyimpan simpati terhadap rakyat Indonesia.

“Misalnya, saat berkumpul, mereka kerap mendiskusikan tentang kemerdekaan Indonesia…” tulis Nino dalam Nazi di Indonesia, Sebuah Sejarah yang Terlupakan.

Soal ini juga diakui oleh sejarawan Jerman Herwig Zahorka. Dia bahkan menyebut, pasca berakhirnya Perang Dunia II, setidaknya ada dua prajurit Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) dari Kapal Selam U-219 yang bergabung dengan gerilyawan Indonesia untuk memerangi militer Belanda.

“Nama mereka adalah Warner dan Losche…” ungkap ahli sejarah militer Jerman di Indonesia tersebut.

Bagaimana nasib mereka berdua?

Zahorka hanya mengatakan bahwa begitu lolos dari kamp konsentrasi Sekutu di Pulau Onrust (masuk wilayah Kepulauan Seribu), Warner dan Losche menjadi pelatih militer pada sebuah kesatuan tentara Indonesia di pulau Jawa.

“Salah seorang dari mereka yakni Losche malah gugur dalam suatu kecelakan saat melatih para gerilayawan republik membuat sejenis pelontar api,” kata Zahorka.

Menurut Nino, Warner dan Losche, serta satu tentara Jerman lain yang tidak diketahui namanya, memang ditugaskan untuk melatih sebuah kesatuan tentara Indonesia di perkebunan kopi di Ambarawa, Jawa Tengah.

Sumber NEFIS (Dinas Intelijen Militer Belanda) membenarkan adanya puluhan orang Jerman yang memihak Indonesia dalam perang kemerdekaan (1945-1949). Itu diungkapkan oleh Jenderal Simon Hendrik Spoor dalam biografinya, Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia, karya sejarawan militer Belanda J.A. de Moor.

Spoor, yang menceritakan adanya orang-orang Jerman dalam suatu pertempuran: “…Sepuluhan orang Jerman katanya memperdengarkan diri dengan keras dan jelas di dalam semak, tanpa pernah secara fisik menampakan diri.

Dulu, Indonesia adalah Pusat Nazi di Asia Pasifik. Swastika dan ideologi fasisme ala Nazi Jerman telah lama ditinggalkan bumi seiring kekalahan telak Adolf Hitler beserta pasukan Schutzstaffel atas Man of Steel Joseph Stalin dari Uni Soviet pada Perang Dunia ke 2.

Namun, ternyata ideologi Nazi atau Nasionalsozialist pernah berkembang dengan pesat di Indonesia pada masa pra kemerdekaan atau sejak tahun 1931. Bahkan, menurut sebuah riwayat bila Nazi turut membantu kemerdekaan Indonesia.

Cerita itu dimulai ketika Hitler mendirikan kantor pusat Nazi untuk kawasan Asia Tenggara di Batavia. Kemudian berturut-turut dibangun beberapa kantor cabang di Bandung, Surabaya, Medan dan Makassar.

Perlu diketahui bila ternyata Indonesia yang pada saat itu masih bernama Hindia Belanda merupakan negara dengan kependudukan Nazi terbesar kedua di kawasan Asia Pasifik setelah Tiongkok.

Bahkan Hitler turut mengirim bantuan militer pada tentara Peta dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan atas Belanda. Salah satunya dengan mengirim pelatih fisik militer bernama Her Hufper lengkap dengan senjata perang.

Menurut buku berjudul "Hitlers Griff Nach Asien" yang ditulis oleh seorang Jerman bernama Horst Geerken bila ideologi Nazi memiliki pengaruh sangat besar bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Apalagi setelah Jerman berhasil menduduki Belanda pada tahun 1940 harapan untuk Indonesia merdeka semakin mengudara dan menjadikan Hitler sebagai inspirasi para pejuang untuk mendirikan negara berpaham nasionalis sosialis.

Maka tak heran bila lahir banyak partai dengan ideologi Nazi di Indonesia seperti Partai Facist Indonesia yang didirikan oleh seorang pelajar pribumi lulusan perguruan tinggi di Berlin bernama Notonindito.

Kemudian lahir Partai Indonesia Raya (Parindra) pada tahun 1935 yang didirikan oleh tiga pemuda bernama Sartono, Husni Thamrin dan Amir Sjarifuddin.

Berselang tak lama, kemudian lahir Gabungan Partai Politik (Gapi) pada 1936 dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) satu tahun berikutnya.

Pada saat itu Parindra merupakan partai terbesar di Hindia Belanda namun karena diduga menjalin hubungan intensif dengan Nazi di Jerman dan Jepang maka Husni Thamrin dikenai sanksi tahanan rumah dan meninggal secara misterius lima hari kemudian.

Lahirnya partai dengan ideologi Nazi hadir bukan tanpa alasan karena menurut catatan Horst Geerken bila pada tahun 1933 jumlah anggota Nazi di Hindia Belanda mencapai angka seribu orang.

Angka tersebut menegaskan bila Hindia Belanda merupakan negara dengan populasi anggota Nazi terbesar di kawasan Asia Pasifik dari total 400.000 orang. Maka tidak heran bila kala itu banyak rumah di Hindia Belanda yang memperlihatkan simbol swastika khas Nazi Jerman.

Ribuan anggota Nazi tersebut mayoritas datang ke Hindia Belanda karena bekerja sebagai pegawai di perusahaan dagang asal Negeri Kincir Angin bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Perlu diketahui bila setengah pegawai VOC justru bukan berasal dari Belanda dan Jerman justru menjadi warga negara mayoritas.

Besarnya populasi Nazi di Hindia Belanda terbukti juga lewat sebuah surat kabar yang sempat terbit dengan menggunakan bahasa Jerman di Batavia bernama Deutsche Wacht.
Horst Geerken percaya bila invasi Hitler ke Tanah Air karena Hindia Belanda dikenal kaya akan sumber daya alam penghasil bahan baku dari kebutuhan industri senjata dan otomotif di Jerman.

Buktinya, ketika Jepang menduduki Semenanjung Malaka dan Indonesia maka Jerman yang merupakan koalisi Negeri Matahari Terbit turut membangun pangkalan kapal selamnya di Jakarta dan Surabaya. Kapal selam yang direncanakan Nazi untuk mengangkut komoditi bahan baku industri dari Hindia Belanda. Lantaran kalah itu kapal dagang Jerman kerap ditenggelamkan karena memanasnya Perang Dunia II.

Tidak heran, seperti dikutip dari CNN bila pada tahun 2014 lalu ditemukan sebuah bangkai kapal selam Nazi era Perang Dunia II yang karam di Laut Karimun Jawa.  Serangkaian bukti nyata lainnya juga hadir melalui beberapa penemuan. Salah satunya lewat keberadaan tugu setinggi tiga meter bergaya bangunan Hindu di lereng Gunung Pangrango.

Dikutip dari National Geographic bila dalam tugu berhias salib besi pertanda jasa militer Jerman tersebut terpajang batu hitam bertulis "Dem Tapferen Deutsch Ostasiatischen Geschwader 1914" yang berarti "Skuadron Jerman Asia Timur yang Berani 1914.

Tugu tersebut dibangun oleh seorang niagawan asal Jerman bernama Emil Helfferich pada tahun 1926 sebagai bentuk penghormatan bagi para tentara Nazi yang berperang dalam pertempuran Falkland di Kepulauan Malvinas Amerika Selatan.

Pada tahun 1945 di area tugu tersebut dimakamkan sepuluh tentara Kriegsmarine atau Angkatan Laut Nazi Jerman yang meninggal karena salah pengertian pada periode pra dan pasca kemerdekaan Indonesia.

Bukti lain adalah ketika secara tidak langsung Nazi membantu Indonesia dalam meraih kemerdekaan lewat peminjaman mesin ketik sewaktu akan merumuskan teks proklamasi. Kala itu para pemuda Indonesia tidak dapat menuliskan rumusan teks proklamasi karena mesin ketik di kediaman Laksamana Maeda menggunakan huruf kanji.

Hingga akhirnya para pemuda meminjam mesin ketik dengan penggunaan huruf latin milik kantor perwakilan Nazi.

Sejak itu, berduyun-duyun kapal selam Jerman lainnya yang masih berpangkalan di Penang dan Sabang ikut pindah pangkalan ke Jakarta, sehingga Jepang kemudian memindahkan kapal selamnya ke Surabaya.

Adalah U-862 yang dikomandani Heinrich Timm, yang tercatat paling sukses beraksi di wilayah Indonesia.  Berangkat dari Jakarta dan kemudian selamat pulang ke tempat asal, untuk menenggelamkan kapal Sekutu di Samudra Hindia, Laut Jawa, sampai Pantai Australia.

Nasib sial nyaris dialami U-862 saat bertugas di permukaan wilayah Samudra Hindia. Gara-gara melakukan manuver yang salah, kapal selam itu nyaris mengalami senjata makan tuan, dari sebuah torpedo jenis homming akustik T5/G7 Zaunkving yang diluncurkannya. Untungnya, U-862 buru-buru menyelam secara darurat, sehingga torpedo itu kemudian meleset.

Usai Jerman menyerah kepada pasukan Sekutu, 6 Mei 1945, U-862 pindah pangkalan dari Jakarta ke Singapura. Pada Juli 1945, U-862 dihibahkan kepada AL Jepang, dan berganti kode menjadi I-502.

Jepang kemudian menyerah kepada Sekutu, pada Agustus di tahun yang sama.  Riwayat U-862 berakhir 13 Februari 1946 karena dihancurkan pasukan Sekutu di Singapura. Para awak U-862 sendiri semuanya selamat dan kembali ke tanah air mereka beberapa tahun usai perang.

Dilindungi Pribumi

Usai Jerman menyerah kepada Sekutu di Eropa pada 8 Mei 1945, berbagai kapal selam yang masih berfungsi, kemudian dihibahkan kepada AL Jepang untuk kemudian dipergunakan lagi, sampai akhirnya Jepang takluk pada 15 Agustus 1945 usai dibom nuklir oleh Amerika.

Setelah peristiwa itu, sejumlah tentara Jerman yang ada di Indonesia menjadi luntang-lantung tidak punya pekerjaan.

Orang-orang Jerman mengambil inisiatif menikah dengan wanita pribumi dan terlibat dalam perang membantu pejuang Indonesia melawan Sekutu. Dan, agar dapat dikenali pejuang Indonesia dan tidak keliru disangka orang Belanda, bekas tentara Jerman tersebut mengenakan pin Nazi di bajunya. (pjo#dariberbagaisumber)

Editor : Tudji Martudji

Berita Terbaru