Bupati Lumajang Thoriqul Haq memberikan statemen saat "Sinergi Pemulihan Pasca Bencana dengan Penguatan Mitigasi dan Rencana Kontinjensi” pada hari Jum’at (29/7/22). (istimewa)

INFOnews | Surabaya - Indonesia berada di wilayah lingkaran api pasifik atau cincin api pasifik dimana merupakan pertemuan tiga lempeng tektonik dunia seperti Lempeng Indo-Austalia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik. Oleh sebab itu, Indonesia merupakan negara yang rawan dengan bencana seperti gempa bumi, letusan gunung berapi hingga tsunami.

Seperti peristiwa erupsi gunung semeru pada awal Juli lalu mengejudkan banyak pihak, peristiwa tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian materi, tapi juga memakan korban jiwa. Hal tersebut menjadi topik bahasan dalam Airlangga Forum edisi ke 92 yang bertajuk “Sinergi Pemulihan Pasca Bencana dengan Penguatan Mitigasi dan Rencana Kontinjensi” pada hari Jum’at (29/7/22).

Dalam forum kali ini Sekolah Pascasarjana UNAIR menghadirkan narasumber yang kompeten dan berpengalaman dalam bidangnya, seperti H. Ali Bernadus, selaku Direktur Pemulihan dan Peningkatan Fisik BNPD, H. Thoriqul Haq, selaku Bupati Lumajang, dan Ario Muhammad, selaku Honorary Research Fellow University of Bristol, Uk.

Ario Muhammad, peneliti gempa dan tsunami di University of Bristol, Inggris memaparkan bahwa mitigasi dan rencana kontijensi bencana di Indonesia masih belum maksimal. Padahal, negara ini sering mengalami bencana.

Menurutnya, untuk menekan risiko adanya korban, harus membuat petunjuk pola evakuasi secara tersusun. Salah satunya sudah memiliki tempat relokasi korban sebelum ada bencana, bukan setelah terjadinya bencana.

Selain itu, anggaran yang disiapkan juga harus lebih besar. Fungsi anggaran tersebut kata Ario, untuk diimplementasikan ke dalam bentuk-bentuk preventif seperti pembangunan rumah tahan gempa di daerah rawan.

Pada kesempatan yang sama, Thoriqul Haq Bupati Lumajang yang hadir dalam kesempatan tersebut juga banyak bercerita saat dirinya melakukan mitigasi dan evakuasi bencana erupsi Gunung Semeru.

Menurut Thoriq, masyarakat di daerah yang rawan bencana memerlukan sejumlah edukasi untuk mitigasi bencana secara praktis dengan pendekatan secara sosial dan kultural.

“Saat saya mencoba melakukan relokasi korban erupsi Semeru ke daerah Sumbermujur, mereka menolak. Alasannya karena lahan pertanian mereka ada di dekat rumah. Padahal rumah mereka adalah daerah rawan terdampak awan panas Semeru,” ujar Thoriq.

Pria yang akrab disapa Cak Thoriq itu juga mengatakan bahwa terjadinya bencana erupsi Semeru datang secara tiba-tiba meski sebelumnya sudah ada peringatan dini.

“Awan panas guguran itu turun ke desa-desa hanya 10 menit. Padahal di sana sudah ada jalur evakuasi, namun yang tidak dipahami masyarakat adalah berapa lama mereka bisa melewati dan sampai di jalur itu,” imbuhnya.

Oleh karena itu dia menegaskan bahwa masyarakat daerah rawan bencana memerlukan edukasi mitigasi dan kontijensi bencana secara praktis serta bisa dipahami masyarakat dengan mudah.

Editor : Redaksi

Berita Terbaru