Tiga saksi yang dihadirkan PT. Patra Jasa memberikan keterangan yang janggal dan tidak konsisten di ruang sidang Garuda 2. INPhoto/Pool

SURABAYA, iNFONews.ID - Persidangan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) antara PT. Patra Jasa dan 44 warga Pulosari di Pengadilan Negeri Surabaya memasuki babak baru. Tiga saksi yang dihadirkan PT. Patra Jasa memberikan keterangan yang janggal dan tidak konsisten di ruang sidang Garuda 2.

Pada persidangan Selasa (15/4/2025), PT. Patra Jasa sebagai tergugat, melalui kuasa hukumnya mendatangkan Krisno Hadi Wibowo pensiunan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang pernah menjabat sebagai Lurah Gunungsari mulai Februari 2017 sampai Desember 2021.

Dalam persidangan itu, Krisno Hadi Wibowo menerangkan bahwa lahan yang menjadi obyek sengketa lahan seluas 65.533 meter persegi yang merupakan bagian dari tanah yang tercatat dalam Hak Guna Bangunan (HGB) nomor 434 Kelurahan Gunungsari dengan luas 142.443 meter persegi, dengan gambar situasi nomor : 14755/1996 tanggal 17 Oktober 1996 tersebut memang tercatat di buku desa Kelurahan Gunungsari.

Pada persidangan waktu itu, Krisno Hadi Wibowo juga menerangkan, berdasarkan buku warkah Kelurahan Gunungsari Surabaya, tanah seluas 6,5 hektar itu adalah eigendom verponding.

Namun, pernyataan ini berbeda dengan yang disampaikan Sutrisno, purnawirawan TNI yang pernah ditugaskan sebagai Babinsa di Kelurahan Gunungsari mulai 2007 sampai 2024.

Dimuka persidangan, Sutrisno mengatakan, bahwa tanah seluas 65.533 meter persegi ini adalah tanah milik PT. Patra Jasa. Namun saat Sutrisno ditanya, darimana ia mengetahui jika tanah tersebut milik PT. Patra Jasa, Sutrisno mengatakan bahwa ia mendapat informasi dari Lurah Gunungsari.

Masih berkaitan dengan siapa sebenarnya pemilik tanah seluas 6,5 hektar yang menjadi obyek sengketa ini, tiga orang yang dihadirkan sebagai saksi pada persidangan kali ini, menjelaskan hal yang berbeda.

Tiga orang yang dihadirkan PT. Patra Jasa melalui kuasa hukumnya ini bernama Joko Warsito warga Jalan Pulosari III Surabaya, Maji Suyoto warga Jalan Pulosari III-J Surabaya dan Agus Sutrisno juga warga Pulosari III Surabaya.

Dihadapan majelis hakim yang diketuai I Ketut Kimiarsa, SH., MH, saksi Joko Warsito, saksi Maji Suyoto dan saksi Agus Sutrisno mengatakan bahwa lahan yang ditempati warga dan menjadi obyek sengketa itu adalah milik Pertamina.

Namun, menurut pengakuan saksi Maji Suyoto dimuka persidangan, lahan seluas 6,5 hektar itu adalah milik PT. Patra Jasa berdasarkan informasi yang ia terima ditahun 1998 dari RT, RW dan Lurah Gunungsari yang menjabat saat itu.

Maji Suyoto adalah saksi yang diperiksa pertama kali dipersidangan. Diawal persidangan, saksi Maji Suyoto menjelaskan, bahwa ia punya tanah garapan yang letaknya berada di Bukit 3 nomer 38, nomer 40 dan nomer 42, sebelah tanah yang dieksekusi.

Lebih lanjut Maji Suyoto menerangkan, mulai tahun 1973, sudah tinggal di Pulosari sebelah tanah yang saat ini sudah dilakukan eksekusi.

Terhadap tanah Pulosari Bukit 1 sampai 12, saksi Maji Suyoto ditanya apakah mengetahui lokasi keberadaan tanah itu. Saksi menjawab berada si Kelurahan Gunungsari.

Maji Suyoto dalam penjelasannya juga menyatakan, akhir 1975 ia mendaftar sebagai kuli bangunan, yang waktu itu akan dibangun pagar keliling untuk Pertamina di atas tanah itu.

Masih menurut pengakuan Maji Suyoto, bentuk pagar tersebut adalah pagar beton setinggi 2 meter dan pada bagian atasnya diberi kawat berduri. Pagar inilah yang ia garap ketika itu.

Saksi Maji Suyoto juga mengatakan, tanah itu milik Pertamina. Semua mandor yang terlibat atas nama Pertamina. Oleh karena itu saksi mengetahui bahwa tanah itu milik Pertamina. Untuk luas tanah sekitar 6 hektar lebih.

"Saya mengetahui jika tanah seluas 6 hektar lebih ini adalah milik Pertamina, karena ketika saya kerja sebagai kuli bangunan di tanah tersebut, semua mandor saya atas nama Pertamina," jelas saksi Maji Sunyoto.

Setelah mengerjakan pagar beton, lanjut Maji Suyoto, saya dipindahkan ke Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) dan balik lagi tahun 1985.

Ditahun 1985 inilah, saksi Maji Suyoto mengatakan bahwa ia kembali ke lokasi tanah yang dulunya ia bangun pagar beton. Namun kedatangannya di tahun 1985 ini hanya untuk bercocok tanam.

Saat Maji Suyoto kembali ke lahan yang dikatakan milik Pertamina ini, Maji Suyoto masih melihat adanya pagar beton yang diberi kawat berduri. Dan saksi Maji Suyoto menjelaskan, ia bisa masuk ke lahan itu.

Ketika memasuki lahan seluas 6,5 hektar ini, Maji Suyoto mengatakan tidak pernah meminta ijin ke Pertamina. Karena tujuannya hanya bercocok tanam, Maji Suyoto mendapat ijin dari RT/RW disana dengan syarat tidak boleh membuat atau membangun pondasi.

Tahun 1998, menurut kesaksian Maji Suyoto, beberapa pagar tembok beton ada yang roboh. Dan akhirnya oleh pihak PT. Patra Jasa, tembok yang roboh itu diperbaiki dan ketinggiannya ditambah menjadi 2,5 meter.

"Untuk pagar yang roboh dibangun kembali, mengelilingi lahan. Dan waktu itu sudah banyak orang yang menempati lahan tersebut," jelas Maji Suyoto.

Saksi Maji Suyoto terlihat sedikit kebingungan saat salah satu kuasa hukum PT. Patra Jasa menanyakan darimana ia tahu jika PT. Patra Jasa kembali membangun pagar beton itu keliling?

Tim kuasa hukum PT. Patra Jasa kembali bertanya ke Maji Suyoto, untuk mengetahui bahwa tembok yang dibangun itu keliling, apakah ia mengelilingi lahan seluas 6,5 hektar tersebut? Saksi Maji Suyoto pun menjawab iya.

Masuknya Maji Suyoto ke tanah yang menjadi obyek sengketa di tahun 1985, walaupun ditahun 1998 ada perbaikan pagar karena ada yang roboh, memantik rasa penasaran tim kuasa hukum 44 warga Pulosari yang dalam perkara ini sebagai pihak penggugat.

Ananta Rangkugo, SH., salah satu kuasa hukum 44 warga Pulosari lalu bertanya ke saksi Maji Suyoto, bagaimana cara Maji Suyoto bisa masuk ke lahan yang diklaim milik Pertamina ditahun 1985, padahal saksi Maji Suyoto diawal kesaksiannya menjelaskan bahwa pagar tembok beton itu dibangun keliling, melingkari lahan seluas 6,5 hektar.

Pertanyaan Ananta Ramgkugo ini langsung membuat Maji Suyoto panik dan terlihat berfikir sejenak.
Maji Suyoto kemudian mengatakan bahwa ada beberapa bagian dari tembok itu yang rusak, bahkan ada lubang.

Kepada saksi Maji Suyoto, Ananta Rangkugo kembali bertanya, ditahun 1998 apakah sudah banyak rumah yang berdiri dilahan tersebut? Saksi pun menjawab banyak.

"Lalu, bagaimana bisa rumah-rumah itu bisa berdiri atau dibangun? Bagaimana caranya warga bisa masuk ke lahan itu dan kemudian melakukan pembangunan rumah?," tanya Ananta Rangkugo.

Maji Suyoto makin terlihat panik dan menunjukkan ekspresi kebingungan. Seperti kehabisan jawaban Maji Suyoto lalu menjawab bahwa ada beberapa bagian dari tembok beton itu dibobol warga sehingga warga bisa masuk.

Berkaitan dengan adanya tindakan pembobolan pagar beton ini, kuasa hukum 44 warga Pulosari terus melakukan pendalaman. Maji Suyoto kembali ditanya, dengan berdirinya banyak rumah diatas lahan itu, tindakan mana yang lebih dahulu dilakukan, apakah membobol tembok terlebih dahulu baru masuk dan melakukan pembangunan atau warga sudah membangun rumah diatas lahan tersebut, masuknya dari beberapa bagian tembok yang ada lubangnya?

Melihat Maji Suyoto berfikir untuk memberikan jawaban, hakim I Ketut Kimiarsa kemudian memperingatkan Maji Suyoto untuk memberikan jawaban yang sebenarnya.

"Anda tahu tidak? Kalau tidak tahu bilang tidak tahu, jangan di karang-karang," kata hakim I Ketut Kimiarsa memperingatkan Maji Suyoto.

Hal lain yang membuat Maji Suyoto harus berfikir keras menjawab pertanyaan tim kuasa hukum 44 warga Pulosari adalah masih seputar bagaimana Maji Suyoto bisa memasuki lahan tersebut, apalagi sampai mempunyai tiga kapling dan akhirnya didirikan bangunan, walaupun semi permanen.

Ananta Rangkugo lalu mengutip pernyataan Maji Suyoto yang menerangkan bahwa ditahun 1998, ia baru mengetahui bahwa tanah itu milik PT. Patra Jasa. Tahun 1985 Maji Suyoto masuk ke lahan obyek sengketa untuk bercocok tanam.

"Saksi mengatakan baru mengetahui bahwa ditahun 1998 tanah tersebut milik PT. Patra Jasa. Ketika mengetahui anda telah menempati lahan tersebut, bahkan mendirikan bangunan, apakah tidak ada teguran, larangan bahkan pengusiran dari PT. Patra Jasa ?," tanya Ananta Rangkugo.

Kemudian, ketika memasuki lahan tersebut, sambung Ananta, apakah anda sudah meminta ijin baik kepada Pertamina karena sebagai pemilik tanah ditahun 1985 dan PT. Patra Jasa sebagai pemilik lahan ditahun 1998?

Untuk masalah teguran, larangan bahkan pengusiran, menurut Maji Suyoto, tidak pernah ada. Dan ketika memasuki lahan tersebut, saksi Maji Suyoto menerangkan tidak pernah meminta ijin baik kepada Pertamina maupun kepada PT. Patra Jasa.

Pertanyaan kuasa hukum 44 warga yang juga membuat saksi Maji Suyoto kebingungan dan harus berfikir sejenak adalah berkaitan dengan nama alamat atas lahan seluas 6,5 hektar tersebut.

Diawal kesaksiannya, saksi Maji Suyoto mengatakan bahwa disana tidak mempunyai alamat. Saat Ananta Rangkugo menunjukkan adanya Sertifikat Layak Operasi (STO) yang diterbitkan PT. PLN atas permohonan pemasangan listrik di daerah itu, Maji Suyoto hanya terdiam.

Sempat terdiam beberapa lama, Maji Suyoto akhirnya mengakui bahwa disana memang ada alamatnya, ada identitasnya.

Persidangan ini semakin menarik dan semakin memperkuat dugaan kejanggalan yang sengaja ditutup rapat adalah tentang adanya warga yang tidak masuk sebagai pihak yang digugat PT. Patra Jasa dan sebagai termohon eksekusi.

Maji Suyoto adalah salah satu bukti bahwa ia tidak masuk sebagai pihak tergugat dalam gugatan yang diajukan PT. Patra Jasa, begitu pula dengan pihak yang dijadikan termohon eksekusi.

Walaupun Maji Suyoto bukan sebagai pihak yang seharusnya sebagai tergugat dan termohon eksekusi, namun Maji Suyoto menerima ganti kerugian berupa taliasih yang jumlah keseluruhannya Rp. 91 juta atas tiga bangunan yang ia miliki.

Editor : Alim Kusuma

Berita Terbaru