H. Muhammad Fawait, SE, M.Sc, Bendahara PW GP Ansor Jatim (Foto: IN/ist)

INFOnews.id | Surabaya - Peristiwa viral menghiasi pemberitaan diberbagai media akhir-akhir ini diantaranya perseteruan antara sosok alim yang mengaku bernama Gus Samsudin Jadab dengan Pesulap Merah.

Tak ayal, kejadian itu menjadi perhatian publik di tanah air. Imbasnya, padepokan tempat pengobatan Samsudin ditutup, yang lebih dulu diwarnai protes masyarakat. Mereka menilai tempat yang dipakai berkegiatan tersebut disinyalir menjadi praktek perdukunan dan penipuan dengan trik sulap.

Terkait gonjang ganjing itu, Bendahara GP Ansor Jawa Timur Muhammad Fawait angkat bicara. Kepada awak media, dia mengaku terpanggil untuk memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat agar tidak terjebak dengan sebutan atau julukan.

Dia pun kemudian melurukan istilah Kiai dan Gus yang cenderung salah dipahami oleh masyarakat, kebanyakan. Termasuk, oleh oknum tertentu dimanfaatkan dan disalahgunakan untuk mendapatkan keuntungan.

"Maaf, ini yang harus diluruskan. Kalau Kiai atau ulama itu harus jelas sanad keilmuannya. Sedangkan Gus harus jelas nasabnya. Jadi masyarakat jangan mudah percaya kepada orang yang mengaku kiai atau gus. Lihat dulu sanad dan nasabnya," terang pengasuh Pondok Pesantren Nurul Chotib Al Qodiri IV Jember itu, Selasa (2/8/2022).

Gus Fawait -demikian dia biasa disapa- mengaku sangat prihatin munculnya fenomena yang terjadi di masyarakat. Dia pun mengaku heran, gampangnya pihak-pihak tertentu mendapat predikat kiai atau gus.

Tokoh Muda Nahdliyin Inspiratif 2020 versi Forkom Jurnalis Nahdliyin ini kemudian mencontohkan berbagai kisah dan pengalamannya. Termasuk gampangnya masyarakat mengeluarkan sebutan gus atau kiai terhadap orang yang mengenakan jubah atau sorban.

"Mereka disebut kiai, padahal tidak pernah mondok, apalagi mengasuh pondok pesantren. Bahkan justru berpraktek sebagai paranormal atau dukun, ini kan tidak mendidik," ujarnya.

Termasuk dengan gampangnya muncul sebutan gus. Itu, kata dia adalah sebutan (Gus) untuk anak kiai di Pulau Jawa, untuk menghormati bapaknya yang seorang kiai.

"Jadi tidak boleh sembarangan menyebut seseorang sebagai gus. Cari tahu dulu dia anak kiai siapa, di mana pondok pesantrennya," ujar Fawait.

Presiden Laskar Sholawat Nusantara ini juga menegaskan, segala sesuatu harus diposisikan pada tempatnya. Utamanya, yang menyangkut sebutan kiai atau gus.

"Saya ingin mengingatkan, sebutan kiai, gus, lora atau yek adalah sebuah penghormatan dan sarat maknanya. Karena itu harus disematkan kepada orang yang tepat dan memang berhak," tegasnya.

"Banyak kasus terjadi, orang yang melakukan praktek perdukunan menyebut dirinya kiai atau gus. Itu untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Tapi ujung-ujungnya mencari keuntungan pribadi. Ini tentu merugikan kiai dan gus yang sebenarnya, harus diluruskan," pungkas Ketua Fraksi Gerindra DPRD Jatim tersebut. (*)

Editor : Tudji Martudji

Berita Terbaru